Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali
Posted on 15/06/2009 by dewa
KATA PENGANTAR
Puji syukur Tim Penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dalam waktu yang relatif singkat
Tim berusaha menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan kehadiran makalah
ini dapat membantu untuk memudahkan para mahasiswa dalam memahami
tentang upacara adat ngaben yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
upacara pitra yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk
mengembalikan unsur-unsur Pancan Mahabhuta kepada asalnya.
Tim Penulis menyadari sepenuhnya atas
keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki serta masih
langkanya literatur atau bahan pustaka yang dimiliki, sehingga masih
banyak mempunyai kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, Tim Penulis mengharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran, kritik dan
saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini yaitu dengan tema ”Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali”.
Akhirnya Tim penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak atas semua sumbangan yang diberikan, baik
berupa saran maupun kritik.
Palu, Juni 2009
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian atau seseorang meninggal,
berarti hubungan dengan dunia nyatanya telah putus, ia dikatakan kembali
ke alam baka / ke akhirat. Ida hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa,
sang pencipta kelahiran dan kematian yang berwenang menentukan status
batas usia, yang tidak dapat diramal oleh manusia biasa, kapan waktunya
yang tepat seseorang berpulang kedunia akhirat.
Didalam perjalanan kematian tersebut
diatas tidak ada ketentuan yang pasti terhadap seseorang tidak ada pilih
kasih, tidak ada perbedaan kaya ataupun miskin, juga perbedaan pejabat
atau bukan pejabat, ayah apa anak, kakek apa cucu, dokter apa pasien,
semuanya akan berjalan kelak menuju kearah kematian sesuai dengan
kehendak takdir, yang diembel-embeli pula dengan perbuatan serta
karmanya.
Jadi mati adalah suatu keharusan dari
hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, masing-masing agama,
masing-masing suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan
penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali dengan umat yang
memeluk Agama Hindu yang menganut kepercayaan adanya roh masih hidup
setelah badan kasar tak bergerak dan terbentang kaku, mempunyai upacara
yang khas dalam penyelenggaraan jazad seseorang yang berpulang yang
disebut Pitra Yajna dimana rangkaian dari upacara ini biasa dikenal
dengan Istilah Ngaben / Palebon / Pralina dll, dan disesuaikan dengan
tingkat dan kedudukan seseorang yang bernilai
“Desa-Kala-Patra-Nista-Madya-Utama”.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk memberikan gambaran secara ringkas dan jelas tentang
segala sesuatu mengenai Upacara adat Ngaben. Secara garis besarnya
Ngaben itu dimaksudkan adalah untuk memproses kembalinya Panca Mahabhuta
di alam besar ini dan mengantarkan Atma (Roh) kealam Pitra dengan
memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Dengan memutuskan
kecintaan Atma (Roh) dengan dunianya, Ia akan dapat kembali pada
alamnya, yakni alam Pitra.
Kemudian yang menjadi tujuan upacara
ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali
kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma dapat
selamat dapat pergi kea lam pitra. Oleh karenanya ngaben tidak bias
ditunda-tunda, mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Agama
Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala, dimana dalam
waktu yang singkat sudah diaben, tidak ada upacara yang menjelimet,
hanya perlu Pancaka tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai
kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus mengalun.
Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma
saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara, mungkin
dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu dewasa
(hari baik) menurut sasih dll, tetapi tidak boleh lewat dari setahun.
Tetapi sebenarnya dengan mengambil jenis ngaben sederhana yang telah
ditetapkan dalam Lontar, sesungguhnya ngaben akan dapat dilaksanakan
oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimana juga. Yang penting tujuan
utama upacara ngaben dapat terlaksana. Sementara menunggu waktu setahun
untuk diaben, sawa (jenasah / jasad / badan kasar orang yang sudah
meninggal) harus dipendhem (dikubur) disetra (kuburan). Untuk tidak
menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan, sawa pun dibuatkan
upacara-upacara tirta pengentas. Dan proses pengembalian Panca Maha
Bhuta terutama Unsur Prthiwinya akan berjalan dalam upacara mependhem
ini.
BAB II
PERMASALAHAN
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan,
karena tanpa biaya besar kerap tidak bisa ngaben. Dari sini muncul
pendapat yang sudah tentu tidak benar yaitu : Ngaben berasal dari kata Ngabehin, artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dana berlebihan, orang tidak akan berani ngaben. Anggapan
keliru ini kemudian mentradisi. Akhirnya banyak umat Hindu yang tidak
bisa ngaben, lantaran biaya yang terbatas. Akibatnya leluhurnya
bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar
dari upacara ngaben itu.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka timbulah beberapa permasalahan, antara lain :
- Apa sesungguhnya ngaben itu ?
- Apakah ngaben selalu menggunakan dana yang besar ?
- Apakah tidak ada jenis ngaben yang dapat dilakukan dengan penyediaan dana yang kecil ?
- Mengapa tidak semua orang dapat diaben ?
- Apakah landasan filosofi dari upacara ngaben?
- Apa maksud dan tujuan diadakannya upacara ngaben?
Dari beberapa penelusuran terhadap
berbagai lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada
beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis
ini antara lain Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa wedhana. Semua
jenis ngaben ini, akan Tim coba uraikab dalam makalah ini sehingga
pembaca mendapatkan gambaran, bila ngaben tidak selalu merupakan
pemborosan. Ngaben juga bisa dilakukan secara sederhana. Banyak sastra
yang mengatakan semua jenis ngaben tersebut merupakan suatu yang utama.
Sebab itu merupakan usaha penyucian sehingga kembali ke asalnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai
upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu
kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran
mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa.
Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal
dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini
juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.
Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas
mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta
pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma
(roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.
Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan
demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan
tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam
tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.
Diantara pendapat diatas, ada satu
pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu
berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi”
dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami
proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p”
menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi
“ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah
Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual
Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai
manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).
Sesungguhnya ada dua jenis api yang
dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api
yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api
Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang
pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini
disebut “mralina”.
Di antara dua jenis api dalam upacara
Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting
adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih.
Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun
memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena
api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah
pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus
membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya.
Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi
ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi
api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana
tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih
penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai
sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan
kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca
Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian
unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses
penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara)
sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya
setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari
“Ngaben”.
B. Landasan Filosofis
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).
Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.
Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan
kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat
pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad
rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) ,
kyasa (sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum
oleh manusia, dimana didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia
menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel telur) dan kama putih (sperma).
Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui
pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom,
darah lamas (kakere) dan ari-ari.
Percampuran kedua kama ini dapat menjadi
janin, bilamana atma masuk atau turun kedalamnya. Konon atma ini masuk
kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan bapak dalam
keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta
yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni
benih halus dari Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan Matra ini dalam janin
bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni Citta, Manah,
Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri
Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak
manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan
dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma
Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang
dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini
nantinya merupakan muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam
pitra.
Ketika manusia itu meninggal Suksma
Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu
lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali
meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan,
lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan
bagi Atma (roh).
Untuk tidak terlalu lama atma terhalang
perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat proses
kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga
bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan
memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang
disebut Ngaben.
Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan
dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit
penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan mendaptkan Neraka,
seperti dijelaskan :
“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi
salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning
bhuana, haro haro gering mrana ring rat, etemahan gadgad”
Artinya
“kalau orang mati ditanam pada tanah,
selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya akan menjadi penyakit
bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).
Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :
- Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.
- Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
- Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma akan kembali keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
- Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
- Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).
Setelah mengetahui
maksud dan tujuan serta landasan filosofis. Penulis akan mencoba
mengungkapkan unsur metafisika yang terdapat dalam upacara ngaben.
Berangkat dari ontologi (metafisika umum) yang berusaha menjawab
persoalan dan menggelar gambaran umum tentang struktur yang ada atau
realitas berlaku mutlak untuk segala jenis realitas (yang ada). Realitas
yang mendasar yang diyakini sebagai sumber dan makna itu oleh Sontag
(1970:4) disebut sebagai “prinsip utama” ( the first principle ).
Setiap filsuf atau aliran dalam memahami prinsip pertama menggunakan
cara-cara yang berbeda, oleh karena itu dalam pemikiran filsafat kita
menemukan beberapa model pendekatan, dari yang tradisional sampai yang
paling kontemporer. Pendekatan itu berkembang dari model pemikiran
kosmosentris, theosentris, antroposentris, logosentris, dan ke
gramatologisentris. Masing-masing memiliki watak, titik pijak,
perspektif, dan orientasi yang berbeda.
Telah ditetapkan bahwa dalam upacara
ngaben dianggap sebagai “simbolis pengantar atma (jiwa) ke alam pitra
(baka)”. Proses pengantaran atma ke alam pitra merupakan prinsip utama
yang lalu dituangkan melalui symbol berupa upacara yang disebut Ngaben.
Oleh karena itu “proses pengantaran atma (jiwa) ke alam pitra (baka)”
tersebut merupakan prinsip pertama dalam ontologi upacara ngaben.
D. Dasar Hukum
Ngaben merupakan salah satu upacara adat
Umat Hindu yang masuk ke dalam ruang lingkup upacara Pitra Yajna. Dimana
yang dimaksud dengan Pitra Yajna adalah persembahan suci kepada
leluhur. Pitra Yajna berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yajna
yang berasal urat kata yaj yang berarti berkorban. Leluhur dimaksud
adalah Ibu Bapak, kakek, buyut, dan lain-lain yang merupakan garis lurus
ke atas, yang menurunkan kita. Kita ada karena ibu dan Bapak. Ibu dan
Bapak ada karena Kakek dan Nenek, begitu seterusnya. Jadi kita ada atas
jasa mereka. Kita telah berhutang kepada mereka. Hutang kepada leluhur
disebut Pitra Rna. Hutang ini harus dibayar, membayar utang
kepada leluhur dengan melaksanakan pitra yajna. Jadi pitra yajna
merupakan suatu pembayaran hutang kepada leluhur. Hal inilah yang
menjadi dasar hukum dari pada Pitra Yajna itu.
Upacara menghormati leluhur dalam Agama
Hindu di kenal dengan istilah Sradha. Hal ini dijelaskan dalam Menawa
Dharma Sastra sebagai berikut : “Upacara Pitra Yajna yang harus kamu
lakukan Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan
mempersembahkan nasi atau dengan air dan susu, dengan umbi-umbian . Dan
dengan demikian Ia menyenangkan para leluhur.” (M.D.S.I.82).
E. Jenis – jenis Ngaben Sederhana1. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di
muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk
ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah
diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis
lagi, yang didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan
ini dikarang yang dikaitkan dengan landasan atau latar belakang
filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang
berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu.
Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi.
Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus
segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu
sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu.
Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra
artinya leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk
menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa,
karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap
lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam
warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan
dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra
Yajna.
Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran
mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama
mengenai upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak
memilih dewasa (hari baik).
3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah
nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa.
Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan
diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan
pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati.
Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian.
Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti
amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan
ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah
diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa.
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa
Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang
baru meninggal walaupun pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai
sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
5. Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah
nama jenis ngaben yang sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng
hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan, lama di
setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis
swasta. Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira)
orang yang mati disimbolkan dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang
12 iler sebagai otot, air sebagai daging, balung cendana 18 potong.
Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran, Recafana
sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan
diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak
diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan
diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat
diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.
F. Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah
Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan
perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan
dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru
meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Ngaben sarat
terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben
sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik
sawa prateka maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara
bebanten dan sarana penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak.
Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan
tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis ngaben
ini disebut Ngaben Sarat.
- Kondisi Umat Hindu dimasa lalu
Pada masa lalu, lebih-lebih sebelum masa
kemerdekaan, umat Hindu kondisinya sangat lemah. Sebagai masyarakat
Agraris mereka berpenghasilan sangat rendah. Pemahaman terhadap Agama
Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika itu, ajaran Agama masih tabu
untuk dipelajari secara umum. Motto away wera yang
disalahtafsirkan menghantui pikiran umat. Akibatnya pemahaman Agama
Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalah artikan dimana Ngaben
adalah identik dengan Ngabehin. Kalau tidak mempunyai dana yang
besar umat tidak akan berani ngaben. Umat tidak mengenal ada bentuk
ngaben sederhana. Lalu mereka jarang sekali ngaben. Kalau toh ada ngaben
mereka pasti golongan mekel, golongan menak, keluarga Puri, atau Geria.
Sewaktu-waktu umat kebanyakan
juga ikut ngaben. Namun secara kolektif, baik dengan cara ngiring (ikut /
numpang) pada puri atau pun geria; kadang kala dari masyarakat yang
berpikiran agak maju, melaksanakan ngaben kolektif yang disebut Ngagalung. Biasanya
disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, sawa leluhur lama
terpendam. Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu
bertentangan dengan prinsip ngaben.
- Kondisi umat Hindu masa sekarang.
Masyarakat sekarang telah measuki era
Industrialisasi. Khususnya Bali adalah Industri Pariwisata. Masyarakat
Industri adalah masyarakat yang penuh dengan kesibukan. Pendapatan
masyarakat semakin meningkat. Pemahaman terhadap ajaran agama juga
semakin meningkat, pelaksanaan upacara menjadi semakin semarak. Dengan
pendapatan yang tinggi maka semakin bergairah dalam melaksanakan ibadah
agamanya. Bagi Agama Hindu melaksanakan upacara agama termasuk ngaben
kelihatan makin semarak saja. Setiap orang mati kebanyakan diaben. Ada
yang mengambil ngaben sederhana dan ada juga yang mengambil jenis
pengabenan sarat. Disisi lain akibat dari dampak pengaruh industri
pariwisata, adalah penyempitan waktu. Hidup gotong royong seperti masa
lalu mulai terancam. Kalau ada tetangga yang ngaben, tanpa diundang dia
datang untuk membantu bekerja. Tapi sekarang tanpa di undang ia tidak
akan datang. Kalau toh diminta paling-paling bisa membantu 1 s/d 2 kali
saja. Syukurlah masyarakat Hindu di Bali masih mempunyai Banjar. Banjar
adalah suatu lembaga adat yang andal untuk mempertahankan kebersamaan
dan gotong-royong. Melalui banjar umat Hindu yang ngaben dapat
mengharapkan bantuan warganya. Hanya beberapa kali mereka dapat meminta
gotong-royong banjar. Ternyata lembaga banjar ini masih sangat efektif
untuk membantu pelaksanaan ngaben.
v Jenis-jenis Ngaben Sarat :
Jenis-jenis Ngaben Sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
- Bilamana sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sawa Prateka adalah jenis ngaben untuk sawa (mayat) yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan. Bila disimpulkan yaitu begitu atma atau urip meninggalkan badan, sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan, diperciki tirta pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah betul sawanya yang diupakarakan. Inilah yang disebut Sawa Prateka.
- Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dikubur (di pendhem) lalu di aben disebut Sawa Wedhana. Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.
G. Pembagian Ngaben Menurut Caranya
Selain pembagian ngaben menurut jenis ngaben
diatas baik ngaben sederhana maupun ngaben sarat, adapula pembagian
ngaben dilihat dari cara pelaksanaannya yaitu :1. Ngaben Langsung
Ngaben Langsung Artinya, Upacara ini langsung dilakukan setelah orang itu meninggal. Ini biasanya dilakukan bagi mereka yang boleh dikatakan mampu untuk urusan ekonominya. Pada umumnya upacara ngaben dari persiapannya membutuhkan waktu yang agak lama, minimal kira-kira 10 hari, itupun jika “hari baik” berdasarkan hitungan kalerder Bali sudah dapat ditentukan / dipilih. Sementara itu biasanya mayat dari orang yang meninggal akan diawetkan terlebih dahulu, baik dengan cara pembekuan (es), atau dengan zat kimia lainnya.
2. Ngaben Massal (ngerit)
Seperti namanya ngaben masal dilakukan secara bersama-sama dengan banyak orang. Di masing-masing desa di Bali biasanya mempunyai aturan tersendiri untuk acara ini. Ada yang melakukan setiap 3 tahun sekali, ada juga setiap 5 tahun dan mungkin ada yang lainnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu, ini adalah pilihan yang sangat bijaksana, karena urusan biaya, sangat bisa diminimalkan. Biasanya mereka yang mempunyai keluarga meninggal dunia, akan di kubur terlebih dulu. Pada saat acara ngaben masal inilah, kuburan itu digali lagi untuk mengumpulkan sesuatu yang tersisa dari mayat tersebut. Sisa tulang atau yang lain, akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar.
Prosesi upacara ngaben selanjutnya, setelah pembakaran mayat, abunya kemudian dibuang ke laut. Dilanjutkan dengan upacara penjemputan arwah di laut tersebut, sebelum akhirnya ditempatkan di pura keluarga masing-masing. Disinilah biasanya seperti dijelaskan dihalaman lain tentang pura keluarga masyarakat hindu di Bali, disamping fungsinya untuk memuja tuhan juga untuk memuja para leluhurnya.
H. Hari Baik atau Dewasa Ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi
dari adanya pengaruh alam besar (Buana Agung) terhadap kehidupan alam
kecil dengan alam besar (Makrokosmos) itu. Adanya pengaruh alam besar
terhadap kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh saling berhubungan
itu betul-betul diperhatikan oleh setiap umat Hindu dalam melakukan
usaha terutama dalam melakukan upacara yajna, dalam hal ini ngaben.Bergeraknya matahari ke utara atau keselatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam ilmu wariga itu. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya dewasa ngaben sarat.
Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
I. Upacara Adat Ngaben di Desa Trunyan Bali.
Terletak di pinggir
Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa Trunyan memiliki banyak
keunikan sebagai sebuah desa kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada
sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu
mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau
bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan
cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan
disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu. Taru
Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain
adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan
pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk
mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi
Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II
Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali melangsungkan upacara
ngaben untuk pembakaran jenasah. Di Trunyan, jenasah tidak dibakar,
melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan. Trunyan adalah desa kuna
yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali asli). Trunya memiliki banyak
keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi adalah keunikan dalam
memperlakukan jenasah warganya. Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang
menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di-
klasifikasikan berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah
dan cara penguburan yaitu :
1. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah.
Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).
2. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda
yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum
menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak
cacat.
3. Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang
paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra
Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan
dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke
kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah yang disebut
Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik yaitu
dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah diupacarai menurut
tradisi setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm.
Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak
terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang
terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk
memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi
menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa
cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah
kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa.
Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi
jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang
dan jenasah barulah yang menempati lubang tersebut. Jenasah lama,
ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika di setra
wayah berserakan tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh ditanam
maupun dibuang. Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara
kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan
tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya.
Upacara dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang
tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama
dibayarkan dengan perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan
tahap kedua pada waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku
ritual dalam bentuk upacara kematian.
BAB IV
PENUTUP
Dari semua uraian dan penjelasan Upacara Ngaben, sebagai penutup dapatlah disimpulkan sebasgai berikut :
Ngaben adalah upacara pemberian beya atau bekal
bagi roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat, tawulan
atau awak-awakan Sawa (jenasah) untuk mempercepat proses kembalinya
unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya.
Ngaben dapat dibagi dua yakni ngaben
sarat dan ngaben sederhana yakni ngaben yang dilakukan dengan cara
sangat sederhana. Ngaben ini terdiri dari : Mitra Yajna, Pranawa,
Swasta, dll. Ngaben sarat adalah ngaben yang penuh sarat dengan
perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan peralatan lainnya. Ngaben
sarat ini terdiri dari dua jenis yakni sawa prateka dan sawa wedhana.
Kendatipun ada perbedaan dalam materi, maupun manfaat kedua jenis ngaben ini sama saja (utama juga ia, wenang ingangge der sang catur janma).
Upacara ngaben dilandasi oleh pemikiran akan hakekat kehidupan
sebagai manusia, yang berasal dari Tuhan untuk kembali kepada Tuhan.Untuk tercapainya tujuan Ngaben dengan semaksimal telah ditentukan adanya hari-hari baik (dewasa).
Semua peralatan dan sarana Ngaben terutama sekali pada Ngaben Sarat, adalah merupakan simbol-simbol yang bermakna.
Ngaben adalah merupakan swadharma pretisantana untuk menunukkan rasa bakti yang mendalam terhadap leluhurnya.
Meninggal yang tidak wajar dalam umat Hindu dikenal dengan istilah Salah Pati (dicari mati seperti contohnya : kecelakaan), dan Ulah Pati (mencari mati seperti contohnya bunuh diri).
Demikianlah penjelasan tentang upacara
ngaben yang merupakan suatu proses ritual yang dilakukan oleh masyarakat
bali. Dari penjelasan di atas kita dapat melihat penjelasan etimologi
dan terminologi, maksud, tujuan, landasan folosofis dan unsur metafisika
dalam upacara dan proses ngaben.
0 Response to "ngaben"
Posting Komentar